Beranjak dari pos terakhir, hanya butuh waktu 30-60 menit
untuk mencapai bibir kawah Gunung Tambora. Puncak dari jauh terlihat menjulang
kokoh berwarna kecoklatan, menggoda siapapun agar segera menuntaskan
hajat pendakian, untuk berdiri di titik tertinggi Pulau Sumbawa yang pernah sekali
merubah sejarah dunia. Setelah tanjakan menggila menguras tenaga dan kewarasan,
hamparan pasir dan kerikil yang labil akan mengantarkan kita menuju tempat itu.
Kawah Gunung Tambora tentunya tak kalah menariknya. Dengan
diameter kawah sekitar 8 km, yang menjadikan gunung berapi ini sebagai salah
satu gunung api aktif yang memiliki kawah terbesar di dunia. Luasnya kawah
menjadi saksi bisu kedahsyatan letusan gunung ini 200 tahun yang lalu. Sebelum
meletus pada April 1815, Gunung Tambora (Tomboro) adalah gunung api aktif
tertinggi kedua setelah Puncak Jaya/Carstensz Piramid (4.884 mdpl) di Papua.
Sebelum meletus, Gunung Tambora memiliki ketinggian 4.300 m dpl tetapi setelah
letusan dahsyat, separuh puncaknya gunungnya ambruk dan menyisakan ketinggian
2.851 mdpl. Ditengah cekungan kawah, 1200 meter dibawah sana terlihat Doro Afi
Toi, anak gunung baru yang muncul beberapa tahun terakhir dan tak henti
mengeluarkan asap belerang. Krisis pemberitaan mengenai Tambora yang mulai
‘batuk-batuk’ tahun lalu kabarnya terkait aktivitas vulkanik di gunung baru
itu. 2 Abad silam pula gunung ini menggegerkan pentas dunia dengan aksi
kolosalnya. Dan apa yang sebenarnya terjadi hampir dua abad silam itu barulah
bisa dipahami dengan jelas dalam setengah abad terakhir ini, khususnya tatkala
dunia memasuki abad nuklir. Lebih jelasnya, tatkala dunia tengah dicengkeram
ketakutan meletusnya perang nuklir di antara dua adidaya pada puncak perang
dingin dan pada saat bersamaan mengapunglah hipotesis TTAPS yang menggemparkan
segenap kalangan. Hipotesis TTAPS, diambil dari huruf depan lima ilmuwan
pencetusnya (yakni Turco, Toon, Pollack, Ackerman dan Sagan), secara lugas
menyebutkan, jika kita nekat meledakkan seluruh arsenal nuklir di Bumi, maka
debu produk ledakan akan membumbung tinggi ke stratosfer dan menjadi tirai
penahan cahaya Matahari yang efektif dalam jangka waktu tertentu. Akibatnya
pancaran sinar Matahari di permukaan Bumi menjadi berkurang, yang berimplikasi
pada menurunnya suhu global dengan segala akibatnya mulai dari kekurangan bahan
pangan global hingga persebaran penyakit melampaui batas-batas wilayah
tradisionalnya. Terminologi musim dingin nuklir (nuclear winter) pun
muncul. Kengerian itu yang konon menjadi salah satu faktor pendorong AS dan Uni
Soviet melakukan serangkaian perundingan yang berujung manis, disepakatinya
Perjanjian Pembatasan Senjata Nuklir Strategis pada 1991.
Jika faktor penyebab injeksi debu ke stratosfer digantikan
dengan sumber lain, misalnya letusan dahsyat gunung berapi, hasilnya kurang
lebih sama. Dan Letusan Tambora 1815 menyajikan bukti telanjang musim dingin
tak biasa akibat letusan gunung berapi atau volcanic winter. Masalahnya
fakta-fakta semacam ini baru kita ketahui di era sekarang, tidak pada dua abad
silam dan khususnya tidak diketahui oleh salah satu manusia besar dalam
sejarah: Napoleon Bonaparte.
Mari kita ikuti kisah Tambora. Gunung Tambora adalah gunung api strato
yang secara administratif terletak di Nusa Tenggara Barat. Secara
geografis gunung ini tumbuh dan berdiri di atas semenanjung Sanggar,
diapit teluk Saleh di selatan dan Laut Flores di utara. Gunung Tambora
berdiri di atas reruntuhan induknya dalam kaldera tua Kawindana Toi,
diapit kaldera Satonda di utaranya. Sebelum 1815, gunung Tambora adalah
gunung tertinggi di kawasan ini dengan puncak setinggi 4.300 meter dpl.
Demikian tingginya sehingga gunung ini bahkan bisa dilihat dari lokasi
yang cukup jauh seperti pantai timur pulau Bali. Di kaki gunung tumbuh
dan berkembang tiga kerajaan kecil nan makmur, masing-masing kerajaan
Sanggar, Pekat dan Tambora.
\ |
Letusan ultraplinian Pinatubo 1991 (Filipina) menjelang puncaknya. Seperti inilah gambaran dasar Letusan Tambora 1815. Hanya saja letusan Tambora limabelas kali lipat lebih besar dibanding Pinatubo. Sumber : US Air Force, 1991. |
Gunung Tambora mulai menunjukkan peningkatan aktivitas sejak 1812. Namun
pada 5 April 1815, Tambora mulai memasuki fase baru dengan letusan
magmatik, yakni letusan yang melibatkan pengeluaran magma dari
kepundannya. Kombinasi dalamnya dapur magma, sangat kentalnya magma yang
diletuskan dan tingginya kadar gas-gas vulkanik menyebabkan letusan
magmatik tersebut bertipe letusan Plinian, letusan yang paling
spektakuler sekaligus paling merusak. Puncaknya, pada 11 April 1815
Tambora memuntahkan segenap kemampuannya dengan letusan Plinian ekstrem
atau Ultraplinian. Kepulan pekat awan panas dan debu vulkanik bercampur
gas menjulur tinggi dari tiga titik di puncak, ibarat lengan raksasa
kehitaman sedang berusaha menjebol langit. Secara keseluruhan gunung ini
menyemburkan 150 kilometer kubik magma, yang dilontarkannya hingga
ketinggian 43 km dalam sebuah letusan super-kolossal dengan skala 7 VEI.
Ini adalah skala letusan tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah
tertulis peradaban manusia. Energi yang dilepaskannya sungguh luar
biasa, mencapai 34.000 megaton TNT atau 1,5 kali lebih besar dibanding
seluruh energi yang tersimpan dalam seluruh arsenal nuklir dalam puncak
perang dingin. Sebagai pembanding, energi letusan Krakatau 1883 (yang
jauh lebih populer itu) hanya seperdelapan letusan Tambora 1815.
Gemuruh suara letusan Tambora terdengar hingga Pulau Sumatra. Thomas
Raffles, gubernur jenderal Inggris di Indonesia sat itu, yang sedang
berada di Yogyakarta mencatat dentuman demi dentuman laksana rentetan
tembakan meriam, disusul dengan menggelapnya langit dan menurunnya suhu.
Bahkan Raffles pun mencatat turunnya salju! Sebagian debu letusan
Tambora menyebar hingga 1.300 kilometer dari gunung. Kedahsyatan itu
menyebabkan lingkungan sekitar gunung mengalami dampak terparah. Awan
panas mengalir deras dan mengubur hidup-hidup tiga kerajaan di kakinya.
Volume awan panas demikian luar biasa sehingga mengalir hingga sejauh 20
kilometer ke utara sampai mencapai pesisir Laut Flores. Masuknya awan
panas ke laut menerbitkan tsunami dan tercatat ada 3 tsunami terbentuk,
yang menjalar dengan kecepatan rata-rata 250 km/jam. Tsunami terasakan
hingga pesisir utara Jawa Timur sebagai kenaikan air Laut Jawa setinggi 1
hingga 2 meter. Dahsyatnya letusan membuat 37 % tubuh gunung
terpenggal, hingga tersisa kaldera bergaris tengah 7 kilometer seperti
bisa kita saksikan saat ini.
erupsi kawah tambora |
terlihat dari poto ini, gunung tambora terlihat begitu kecil dibandingkan efek letusannya. |
Saat Tambora meletus, Eropa sedang bersiap menghadapi peristiwa besar.
Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis yang telah dimakzulkan sebelumnya
dan dikurung di pulau Elba, berhasil meloloskan diri per 1 Maret 1815
dan kembali ke Perancis, memulihkan kekuasaannya. Segera ia
mempersiapkan pasukan menghadapi koalisi Austria, Prussia, Rusia dan
Inggris Raya. Perang Koalisi ketujuh pun berkobar. Hal yang tak disadari
Napoelon, alam seakan tak mendukung manuver pasukannya. Peralatan berat
dan logistik yang yang sudah disiapkan tak bisa efektif dimanfaatkan ke
medan perang akibat jalanan berlumpur oleh hujan yang turun
terus-menerus di awal musim panas yang seharusnya terik. Anomali cuaca
ini tak diantisipasi Napoleon. Strateginya pun berantakan oleh tekanan
demi tekanan pasukan koalisi, yang memaksanya bertekuk lutut pada
Pertempuran Waterloo. Hanya 100 hari setelah kembali menduduki kursi
kekaisaran, Napoleon secara pahit harus meninggalkannya. Putus asa tak
bisa meninggalkan Perancis dengan aman, Napoleon akhirnya menyerahkan
diri kepada kapten kapal HMS Bellerophon, yang membawanya ke pengasingan terakhir berujung maut di pulau Saint Helena.
Tanpa disadari Napoleon, salah satu faktor kekalahannya dalam
pertempuran Waterloo sudah dipastikan sejak pertengahan April 1815 dari
tempat yang berjarak ribuan kilometer, yakni dari Gunung Tambora,
Indonesia. Dan hampir dua abad kemudian, gunung yang sama kembali
menaklukkan sosok pemberani lainnya.
Sumber :
Wah bagus banget gunung tambora
BalasHapussemoga pariwisata Indonesia makin maju
Dilihat dari bentuk Kaldera nya, lebih besar Kaldera Gunung Tambora / Gunung Tengger Purba atau Gunung Rinjani - Samalas?
BalasHapus